Ketika 30 Persen Warga Banten Tewas Saat Pandemi Melanda Dunia

Penyerahan piagam penghargaan dari FWM Baksel kepada para Narasumber usai kegiatan seminar

Barometer Banten – Pendemi Covid-19 ternyata bukan satu-satunya kejadian yang melanda dunia. Penyakit serupa ternyata pernah terjadi di dunia ini hingga menelan banyak korban jiwa. Bahkan di wilayah Banten saja mencapai 30 persen warganya meninggal dunia akibat Pandemi tersebut.

Hal itu dikemukakan Budayawan Bantenologi Yadi Ahyadi, dalam acara seminar Forum Wartawan Malingping Lebak Selatan (FWM Baksel), di gedung PGRI Malingping, Sabtu (11/09/2021).

Bacaan Lainnya

Seminar dengan tema ‘Menggali Potensi Peninggalan Sejarah Dan Budaya Di Wilayah Bakal DOB Cilangkahan, itu banyak menguak informasi bersejarah yang terjadi di wilayah Banten. Salah satunya situasi Pandemi seperti Covid-19 yang terjadi saat ini.

Yadi Ahyadi mengatakan, bahwa dahulu pada tahun 1656, Pandemi melanda dunia yang gejala penyakitnya mirip dengan Covid-19. Namun, kata Yadi, pada masa itu disebutnya penyakit paru-paru.

“Pada masa itu sebanyak 30 persen warga Banten meninggalkan dunia,” kata Yadi.

Dijelaskan Yadi, situasi itu diketahui dari melalui dokumen-dokumen Prancis yang menceritakan kejadian masa Pandemi selama satu tahun di dunia. Dalam catatan itu, disebutkan bahwa wabahnya bernama wabah bantam.

“Pengobatannya secara tradisional, air laut sebagai handsanitizer, buah asam sebagai pennyetabil imun dan daun kelor sebagai vitamin nafsu makan,” jelas Yadi.

Sebenarnya orang tua terdahulu, kata Yadi, sudah menerapkan metode vaksinasi secara alamiah. Namun hal itu sudah banyak dilupakan masyarakat.

“Biasanya orang tua dulu, melepas balita berusia delapan bulan ke tanah, itu sengaja dikenalkan dengan alam. Seperti main tanah dan makan apa saja yang ditemukan, sehingga dengan begitu imunnya bisa mengenali berbagai macam potensi penyakit secara alami,” katanya.

Dikatakan Yadi, sebenarnya banyak kearifan lokal yang seharusnya diperhatikan, seperti teknologi tradisional, pengobatan tradisional sampai dengan permainan tradisional. Kesemuanya itu, lanjut Yadi, memiliki nilai-nilai sejarah yang penting untuk diketahui agar tidak ketergantungan kepada pola penjajahan kolonial yang terjadi di era milenial.

Selain Yadi Ahyadi, seminar itu juga di isi oleh Frans Arrifai Son Ghaha yang merupakan pegiat Semiotika Sejarah dan Apid yang merupakan seorang penulis buku jejak romusha. (Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan